Song Llinks

Senin, 13 Oktober 2014

Laporan Pendahuluan Asfiksia Neonatorum



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Saluran pernafasan merupakan bagian esensial dalam menunjang kelangsungan hidup manusia. Kumpulan organ pernafasn yang membentuk sistem saluran pernafasan ini bekerja tanpa kehendak dan tanpa sadar (involunter). Namun seiring dengan banyaknya komplikasi dan penyakit yang mengancam ibu yang dalam masa usia hamil, maka tak sedikit pula bayi yang dilahirkan mengalami gangguan pada sistem pernafasannya. Salah satu keluhan yang diderita bayi adalah asfiksia.

Di negara berkembang, sectio caesarea merupakan pilihan terakhir untuk menyelamatkan ibu dan janin pada saat kehamilan dan atau persalinan kritis. Angka kematian ibu karena sectio caesarea yang terjadi sebesar 15,6% dari 1.000 ibu dan kejadian asfiksia sedang dan berat pada sectio caesarea sebesar 8,7% dari 1.000 kelahiran hidup sedangkan kematian neonatal dini sebesar 26,8% per 1.000 kelahiran hidup.(Sibuea, 2007).
Angka kematian bayi secara keseluruhan di Indonesia mencapai 334 per 100.000 kelahiran hidup dan penyebab kematian terbesar adalah asfiksia (Mieke, 2006). Angka kematian bayi di Indonesia menurut survei demografi dan kesehatan Indonesia mengalami penurunan dari 46 per 1000 kelahiran hidup (SKDI 1997) menjadi 35 per 1000 kelahiran hidup (SKDI 2003). Sedangkan angka kematian ibu mengalami penurunan dari 421 per 100.000 kelahiran hidup (SKDI 1992) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SKDI 2003). Kematian pada masa perinatal yang disebabkan karena asfiksia sebesar 28%.
Insiden asfiksia neonatorum di negara berkembang lebih tinggi daripada di negara maju. Di negara berkembang, lebih kurang 4 juta bayi baru lahir menderita asfiksia sedang atau berat, dari jumlah tersebut 20% diantaranya meninggal. Di Indonesia angka kejadian asfiksia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran hidup, secara keseluruhan 110.000 neonatus meninggal setiap tahun karena asfiksia (Dewi dkk, 2005).
Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 dari ibu ke janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. karena itu penilaian janin selama kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
Dari hasil pemikiran tersebut di atas, maka kelompok ingin membahas lebih jauh tentang tentang tema “Kegawadaruratan pada klien Asfiksia Neonatorum”.




1.2.       Tujuan Pembahasan
1.2.1.      Tujuan Umum
Setelah pembahasan dan diskusi materi makalah dari kelompok ini, diharapkan mahsiswa memahami gambaran tentang kegawadaruratan pada klien asfiksia.
1.2.2.      Tujuan Khusus
1.      Untuk memahami anatomi-fisiologi saluran pernapasan
2.      Untuk memahami definisi asfiksia
3.      Untuk memahami metode penilaian klien asfiksia
4.      Untuk memahami klasifikasi asfiksia
5.      Untuk memahami etiologi asfiksia
6.      Untuk memahami manifestasi klinis (gejala dan tanda) asfiksia
7.      Untuk memahami patofisiologi
8.      Untuk memahami pemeriksaan diagnostik asfiksia
9.      Untuk memahami penatalaksanaan medis asfiksia
10.  Untuk memahami komplikasi asfiksia
11.  Untuk memahami pencegahan asfiksia
12.  Untuk memahami konsep askep asfiksia



BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.       Anatomi/Fisiologi Saluran Pernapasan
Saluran pernapasan bagian atas terbagi atas :
a.       Lubang hidung (cavum nasi)
Hidung terbentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Bagian dalam hidung merupakan lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat. Rongga hidung mengandung rambut yang berfungsi sebagai penyaring kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk kedalam saluran pernapasan.
Bagian luar dinding terdiri dari kulit. Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan. Lapisan dalam terdiri dari selaput lender yang berlipat-lipat yang dinamakan karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah yaitu: konka nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis superior.
Diantara konka nasalis terdapat 3 buah lekukan meatus, yaitu: meatus superior, meatus inferior dan meatus media. Meatus-meatus ini yang dilewati oleh udara pernafasan sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak yang disebut koana.
b.      Sinus paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Sinus berfungsi untuk : membantu menghangatkan dan humidifikasi, meringankan berat tulang tengkorak, mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.
c.       Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (± 13cm) yang letaknya bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulan rawan krikoid. Berdasarkan letaknya,faring dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang laring (laringo-faring).
d.      Laring
Laring sering disebut dengan ”voice box” dibentuk oleh struktur epiteliumlined yang berhubungna dengan faring dan trakhea. Laring terletak dianterior tulang belakang ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus berada di posterior laring.




Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara. Pada bagian pangkal ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulanng rawan yang berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup laring. Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula tyroidea, dan beberapa otot kecil, dan didepan laringofaring dan bagian atas esopagus.Cartilago/tulang rawan pada laring ada 5 buah, terdiri dari sebagai berikut: cartilago thyroidea 1 buah di depan jakun (Adam’s apple) dan sangat jelas terlihat pada pria, cartilago epiglottis 1 buah, cartilago cricoidea 1 buah, cartilago arytenoidea 2 buah yang berbentuk beker.

e.       Trachea atau Batang tenggorok
Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira 10 cm dengan lebar 2,5 cm. Trachea berjalan dari cartilago cricoidea kebawah pada bagian depan leher dan di belakang manubrium sterni, berakhir setinggi angulus sternalis (taut manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
f.       Bronchus
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar, dan lebih vertikal daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis, sebelurn dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah. Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara).




g.      Paru-Paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri atas kecil gelembung-gelembung (alveoli). Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru dibagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri dari 3 lobus (lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo dekstra media, lobus pulmo dekstra inferior) dan paru-paru kiri yang terdiri dari 2 lobus (lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior).

2.2.       Definisi
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan hiperapneu serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992).
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967). Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin (Gabriel Duc, 1971).

2.3.       Metode Penilaian
Cara menilai tingkatan APGAR score menurut Utomo (2006) adalah dengan :
a.       Menghitung frekuensi jantung.
b.      Melihat usaha bernafas.
c.       Menilai tonus otot.
d.      Menilai reflek rangsangan.
e.       Memperlihatkan warna kulit.

Di bawah ini adalah tabel untuk menentukan tingkat derajat asfiksia yang dialami bayi:
Tanda
0
1
3
Detak jantung
Tidak ada
< 100x/menit
> 100x/menit
Pernafasan
Tidak ada
Tidak teratur
Menangis kuat
Tonus otot
Lunglai
Fleksi ekstermitas (lemah)
Fleksi kuat
Gerakan aktif
Reflek saat jalan nafas  dibersihkan
Tidak ada
Menyeringai
Batuk/bersin
Warna kulit
Biru/pucat
Tubuh kemerahan
Ekstermitas biru
Merah seluruh tubuh

Nilai 0-3   : Asfiksia berat
Nilai 4-6   : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Ringan/ bisa dianggap Normal

Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit  masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan  menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar) Sumber : Utomo, (2006).
Menurut Mochtar (1998) asfiksia dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
a.       Asfiksia livida (biru)
b.      Asfiksia Pallida (putih)
Tabel 2.2. Perbedaan  antara asfiksia  livida dan asfiksia pallida
Perbedaan
Asfiksia livida
Asfiksia Pallida
Warna kulit
Tonus otot
Reaksi rangsangan
Bunyi jantung
Prognosis
Kebiru-biruan
Masih baik
Positif
Masih teratur
Lebih baik
Pucat
Sudah kurang
Negatif
Tidak teratur
Jelek

Asfiksia livida lebih baik dari pada asfiksia pallida, prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus di pikirkan kemungkinannya  menderita cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang.

2.4.       Klasifikasi
a.       Asfiksia Ringan
Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
b.      Asfiksia Sedang
Skor APGAR 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi detak jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
c.       Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada, pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung  fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum  pemeriksaan fisik sama asfiksia berat (Kamarullah,2005).

2.5.       Etiologi
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir.
Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah :
a.       Faktor ibu
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam.Gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan ; gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.
b.      Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.
c.       Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
d.      Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena ; pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan,hipoplasia paru dan lain-lain.

2.6.       Manifestasi klinis (Gejala dan Tanda)
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
a.       Hilang sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
b.      Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
c.       Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami gangguan.
Gejala Klinis :
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode apnue primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.
Gejala lanjut pada asfiksia :
a.       Tachikardi
b.      Denyut jantung terus menurun.
c.       Tekanan darah mulai menurun.
d.      Bayi terlihat lemas (flaccid).
e.       Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2).
f.       Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2).
g.      Menurunnya PH (akibat acidosis respiratorik dan metabolik).
h.      Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob.
i.        Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular.
j.        Pernafasan terganggu.
k.      Reflek / respon bayi melemah.
l.        Tonus otot menurun.
m.    Warna kulit biru atau pucat.

2.7.       Patofisiologi
Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan dalam pertukaran gas oleh karena plasenta menyediakan  oksigen dan mengangkat CO2keluar dari tubuh janin. Pada keadaan ini paru janin tidak berisi udara, sedangkan alveoli janin berisi cairan yang diproduksi didalam paru sehingga paru janin tidak berfungsi untuk respirasi. Sirkulasi darah dalam paru saat ini sangat rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh karena konstriksi dari arteriol dalam paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan melewati Duktus Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.
Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali (menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk respirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah kedalam paru akan meningkat secara memadai. Duktus Arteriosus (DA) akan mulai menutup bersamaan dengan meningkatnya tekanan oksigen dalam aliran darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang sebelumnya melewati DA dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran darah yang cukup berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA akan tetap tertutup sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.
Hipoksia janin atau bayi baru lahir sebagai akibat dari vasokonstriksi dan penurunan perfusi pru yang berlanjut dengan asfiksia, pada awalnya akan terjadi konstriksi Arteriol pada usus, ginjal, otot dan kulit sehingga penyediaan Oksigen untuk organ vital seperti jantung dan otak akan meningkat. Apabila askfisia berlanjut maka terjadi gangguan pada fungsi miokard dan cardiac output. Sehingga terjadi penurunan penyediaan oksigen pada organ vital dan saat ini akan mulai terjadi suatu “Hypoxic Ischemic Enchephalopathy (HIE) yang akan memberikan gangguan yang menetap pada bayi sampai dengan kematian bayi baru lahir. HIE ini pada bayi baru lahir akan terjadi secara cepat dalam waktu 1-2 jam, bila tidak diatasi secara cepat dan tepat (Aliyah Anna, 1997).

2.8.       Pemeriksaan Diagnostik
a.       Analisa gas darah (PH kurang dari 7.20)
b.      Penilaian APGAR score meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek
c.       Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah tumbuh komplikasi
d.      Pengkajian spesifik
e.       Elektrolit garam
f.       USG
g.      gula darah.
h.      PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.
i.        Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%.
j.        Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks    antigen-antibodi pada membran sel darah merah.
(Septia Sari,2010)

2.9.       Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bayi baru lahir dengan asfiksia menurut Wiknjosastro (2005) adalah sebagai berikut :
a.       Tindakan umum
1.      Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan suhu tubuh, sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat, perlu diperhatikan untuk menjaga kehangatan suhu BBL dengan :
·         Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak.
·         Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar.
·         Bungkus bayi dengan kain kering.
2.      Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion, kepala bayi harus posisi lebih rendah sehingga memudahkan keluarnya lender



3.      Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua telapak kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan vitamin K. Hal ini berfungsi memperbaiki ventilasi.

b.      Tindakan khusus
1.      Asfiksia berat (nilai apgar 0-3)
Resusitasi aktif dalam hal ini harus segera dilakukan yaitu dengan :
a)      Memperbaiki ventilasi paru-paru dengan memberikan O2 secara langsung dan berulang atau dengan melakukan intubasi endotracheal dan O2 dimasukkan dengan tekanan tidak lebih dari 30 ml. Hal ini mencegah terjadinya iritasi paru berlebihan sehingga dapat terjadi ruptur aveoli. Tekanan positif ini dilakukan dengan meniupkan udara ke dalam kateter dari mulut ke pipa atau ventilasi kantong ke pipa.
b)      Memberikan natrikus bikarbonat dengan dosis 2-4 mEQ/kg BB
c)      Masase jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan diatas tulang dada secara teratur 80-100 x/mnt. Tindakan ini berselingan dengan nafas buatan, yaitu setiap 5 kali masase diikuti 1 kali pemberian nafas. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya komplikasi pneumotoracks jika  tindakan ini dilakukan bersamaan.
d)     Memberikan obat-obatan 1/10.000 andrelin dengan dosis 0,5-   1 cc secara intravena (sebegai obat inotropik) dan kalsium glukonat 50-100 mm/kg BB secara intravena, untuk meningkatkan frekuensi jantung.
2.      Asfiksia sedang (Nilai Apgar 4-6)
Dilakukan rangsangan untuk menimbulkan reflek pernafasan dengan :
a)      Melakukan rangsangan 30-60 detik setelah penilaian APGAR   1 menit.
b)      Melakukan nafas buatan dengan memasukkan pipa ke dalam hidung, O2 dialirkan dengan kecepatan 1-2 liter/menit. Bayi diletakkan dengan kepala dalam dorsofleksi, dilakukan dengan membuka dan menutup lubang hidung dan mulut disertai dengan menggerakkan dagu ke atas dan kebawah dalam frekuensi 20 x/ menit.
c)      Melakukan pernafasan mulut ke mulut yag seharusnya dalam mulut bayi dimasukkan pharingeal airway yang berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan, sebelum mulut penolong diisi O2 sebelum peniupan, peniupan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 x/menit.




c.       Tindakan lain dalam resusitasi:
1.      Pengisapan cairan lambung dilakukan pada bayi-bayi tertentu yaitu pada bayi prematur, sebelumnya bayi mengalami gawat janin, pada ibu yang mendapatkan anastesia dalam persalinan.
2.      Penggunaan obat Nalorphin diberikan pada bayi yang disebabkan oleh penekanan pernafasan akibat morfin atau petidin yang diberikan selama proses persalinan.

Menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia, antara lain :
a.       Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)
Caranya:
1)      Bayi dibungkus dengan kain hangat
2)      Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut.
3)      Bersihkan badan dan tali pusat.
4)      Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke dalam inkubator.
b.      Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
Caranya :
1)      Bersihkan jalan napas.
2)      Berikan oksigen 2 liter per menit.
3)      Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belu ada reaksi,bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
4)      Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc.Dextrosa 40% sebanyak 4cc disuntikan melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan intra kranial meningkat.
5)      Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)
Caranya:
1)      Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui lambubag.
2)      Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
3)      Bila tidak berhasil lakukan ETT (Endotracheal Tube).
4)      Bersihkan jalan napas melalui ETT (Endotracheal Tube).
5)      Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc.




2.10.   Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
a.       Edema otak dan Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.
b.      Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
c.       Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
d.      Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan otak.
Komplikasi pada berbagai organ yakni meliputi :
a.       Otak : Hipokstik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis.
b.      Jantung dan paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum, perdarahan paru,  edema paru.
c.       Gastrointestinal: enterokolitis, nekrotikans.
d.      Ginjal: tubular nekrosis akut.
e.       Hematologi.

2.11.   Pencegahan
Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :
a.       Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan.
b.      Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum.
c.       Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
d.      Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi.
e.       Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.
f.       Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan persalinan.
g.      Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :
  1. Persalinan yang bersih dan aman.
  2. Stabilisasi suhu.
  3. Inisiasi pernapasan spontan.
  4. Inisiasi menyusu dini.
  5. Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar